Vrydag 23 Januarie 2015

SOLIDARITAS UNTUK PAPUA (SUP)

 ( IPMA-PAPUA, AMP, GANJA, FMN, LBH,
PMKRI, PEMBEBASAN, KPRM-PRD, PEREMPUAN MAHARDHIKA, GP3PB, SMI, PPRM, PPI, GMKI, GMNI, ARMP)

DOM DIBERLAKUKAN DI PUNCAK JAYA PAPUA: SBY – BOEDIONO GAGAL DAN GULINGKAN. WUJUDKAN DEMOKRASI DI PAPUA DENGAN PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!

Rezim Fasis Boneka Susilo Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada perode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara “mendasar, menyeluruh, dan bermartabat. Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segerah keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi dibalik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM) di mana alat reaksioner negara ( TNI maupun Polri) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reakioner negara ( TNI dan Polri ) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner negara ( TNI dan Polri ) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi atau-kah mungkin mereka kuburkan . Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah terbakar habis oleh alat reaksiner negara ( TNI dan Polri ). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka.

SOLIDARITAS UNTUK PAPUA (SUP)

( IPMA-PAPUA, AMP, GANJA, FMN, LBH,
PMKRI, PEMBEBASAN, KPRM-PRD, PEREMPUAN MAHARDHIKA, GP3PB, SMI, PPRM, PPI, GMKI, GMNI, ARMP)

DOM DIBERLAKUKAN DI PUNCAK JAYA PAPUA: SBY – BOEDIONO GAGAL DAN GULINGKAN. WUJUDKAN DEMOKRASI DI PAPUA DENGAN PERSATUAN UNTUK PEMBEBASAN NASIONAL !!!

Rezim Fasis Boneka Susilo Bambang Yudhoyono antek Imperialis Amerika pada awal masa jabatannya pada perode pertama pernah menyampaikan akan menyelesaikan masalah Papua secara “mendasar, menyeluruh, dan bermartabat. Niat SBY itu, terasa kian menjauh setelah periode ke-dua SBY menjabat sebagai orang nomor 1 di Indonesia. Jika kita menyimak apa yang kini terjadi di Papua, khususnya mengenai pemberlakuan Status Dearah Operasi Militer (DOM) atau Kebijakan Bumi Hangus di Distrik Tingginambut, Kabupaten Puncak Jaya – Papua, yang dibuat melalui kesepakatan antara Pemerintah Daerah Tingkat II Puncak Jaya, Pangdam XVII Trikora dan Polda Papua pada bulan Mei 2010. Dalam kesepakatan antara Pemda Puncak Jaya, Pangdan XVII Trikora dan Polda Papua meminta agar semua warga massa rakyat setempat dan pemimpin gereja, termasuk perempuan, pemuda, anak-anak, pemimpin tradisional dan kepala desa segerah keluar dari wilayah Distrik Tingginambut paling lambat antara 27 – 28 Juni 2010. Hal ini membuktikan semakin fasis-nya rezim dan menunjukan watak klas penguasa hari ini yang anti-Rakyat dan selalu bersembunyi dibalik slogan Demokrasi dan penegakan Hak Asasi Manusia (HAM).

Tanggal terakhir bagi pengosongan wilayah Distrik Tingginambut adalah 28 Juni 2010, karena setelah tanggal tersebut Kabupaten Puncak Jaya akan menjadi Daerah Operasi Militer ( DOM) di mana alat reaksioner negara ( TNI maupun Polri) akan melakukan operasi sapu bersih/sweeping di desa-desa, hutan dan bahkan gua. Pengumuman yang dikeluarkan ini sangat keras yang dilakukan oleh alat reakioner negara ( TNI dan Polri ) menyatakan bahwa setelah 28 Juni 2010, setiap orang yang masih berada di daerah tersebut akan tewas dalam sebuah “Kebijakan Bumi Hangus”. Alat reaksioner negara ( TNI dan Polri ) akan mengambil tindakan brutal. Mereka tidak akan memperhatikan Hak Asasi Manusia (HAM) dan akan membunuh tanpa pandang bulu. Sebagai bukti dari fakta ini, bahkan sebelum operasi ini dimulai, dua bulan sebelumnya, tepatnya pada hari Rabu 17 Maret 2010, Pdt. Kindeman Gire ditembak mati oleh TNI dari kesatuan 756 di Distrik Ilu. Kindeman adalah seorang Gembala Sidang Gereja GIDI Toragi Distrik Tingginambut. Korban atas nama Pdt. Kindeman Gire ditembak dengan senjata 2 kali, sejak tanggal ditembak itulah sampai hari ini belum ditemukan jasat korban. Kecurigaan besar keluarga korban adalah kemungkinan TNI memultilasi (memotong-motong) tubuh korban kemudian dimasukan kedalam karung lalu membuangnya di Sungai Tinggin atau di Sungai Yamo bahkan mungkin di sungai Guragi atau-kah mungkin mereka kuburkan . Selain itu Gereja GIDI di Yogorini, Pilia, Yarmukum telah terbakar habis oleh alat reaksiner negara ( TNI dan Polri ). Gereja GIDI di Yarmukum adalah sebuah gereja yang baru dibangun dengan kapasitas 500 tempat duduk, yang belum resmi dibuka. 

Donderdag 22 Januarie 2015

MERAJUT FAJAR TIMUR





Tiada pernah sirna,
tentang sebuah harapan,
akan kebebasan yang aku dambakan
Sekian lama hati dalam hampa,
melewati waktu yang terus melata,
tinggalkan luka,
namun tak jua ku bisa melupa,
kebebasan dalam batok kepala.
Walau negara sedang melukaiku,
Negara melenggang menari di atas tangisanku,
Negara benamkan dalam dustanya
lukapun semakin dalam menghunjam,
Namun tulus hatiku,
berjuang demi kebebasanku,
untuk meraih harapanku,
mutlah demi negriku,
merajut Fajar Timur.
Puisi Papua, Papua – Abepura, Bukit Keheningan, 27/05/13
Honaratus Pigai

Untukmu mama,
kunyanyikan kembali dua bait lagu Christine ini:
Seluruh jiwa ragaku
Segalanya untukmu mama
Janganlah ku dengar lagi
Engkau menangis
Badanmu kurus dan letih
Biarlah tidur dan bermimpi
Mimpikanlah hari ini
Akan berganti
Kaulah nadi hidupku mamaku
Hapuslah air matamu dari pipimu
Cantiknya raut wajahmu mamaku
Berikan senyum yang indah di bibirmu.
Salam Untukmu kasih.

Nyanyikan lagu ini dimana pun anda berada.
HAI TANAHKU PAPUA,
KAU TANAH LAHIRKU,
KU KASIH AKAN DIKAU
SEHINGGA AJALKU.
KUKASIH PASIR PUTIH
DI PANTAIMU SENANG
DIMANA LAUTAN BIRU
BERKILAT DALAM TERANG.
KUKASIHI GUNUNG-GUNUNG
BESAR MULIALAH
DAN AWAN YANG MELAYANG
KELILING PUNCAKNJA
KUKASIHI DIKAU TANAH YANG DENGAN BUAHMU
MEMBAYAR KERAJINAN
DAN PEKERJAANKU
KUKASIHI BUNYI OMBAK
YANG PUKUL PANTAIMU
NYANYIAN YANG SELALU SENANGKAN HATIKU.
KU KASIHI HUTAN-HUTAN SELIMUT TANAHKU
KUSUKA MENGEMBARA DIBAWA NAUNGANMU.
SYUKUR BAGIMU TUHAN,
KAU BERIKAN TANAHKU
BERI AKU RAJIN JUGA
SAMPAIKAN MAKSUDMU.





BUKAN UNTUK MENGEJAR NAMA
Jari jemariku masih terus menari,
kuungkapkan apa yang tersirat di hati,
tak kira di kertas usang,
yang jelas kumerasa puas dan senang.
Terserah kau mau mengerti ataupun tidak,
pada asa yang tak bisa kutolak,
yang jelas dan nyata,
bukan untuk mengejar nama.
Rangkaian bait bait kata,
kusulam, kujadikan syair dan puisi,
yang selama ini meraja,
bertahta dikerajaan asa.
Jari jemariku masih menari,
entah kapan ia akan berhenti,
selagi ada rindu dan cinta suci,
selagi belum kutemui nahkoda KEBEBASAN.

KAU TAK PERDULI
Semakin kau tak melihatku,
acuh dan tak peduli padaku,
kau sibuk dengan urusanmu,
alihkan pandangan dariku,
Seakaan aku tak ada,
hanya sekilas di depan mata,
kau tak mengerti perasaan ini,
kau bertingkah semau sendiri.
Kau anggap aku hewan
yang tidak setara manusia,
hanya ciptaan nomor dua,
di pandang sambil lalu berjalan,
bahkan menghilangkan nyawa.

01 MEI MENURUT INDONESIA & PAPUA
MENURUT INDONESIA
Membangun Papua adalah jawaban terakhir dari dinamika politik bahwa Papua dapat dibangun dalam bingkai NKRI. Segala akumulasi persoalan yang terjadi di Papua, sudah dijawab pemerintah melalui Otonomi Kusus Papua.
Karena itu sekali lagi, mesti membangun Papua dalam bingkai NKRI, membangun manusia Papua menuju keadilan dan kesejahteraan.
MENURUT RAKYAT PAPUA
Segala Kebijakan Indonesia tidak mampu menjawab persoalan Papua. Segala kebijakan SALAH ALAMAT dan TEMPAT.
Indonesia Menciptakan strategi untuk menggelapkan KEBENARAN sejarah di atas dalih Kebijakan-kebijakan PALSU (Otsus, UP4B dan sederetannya) dan di atas dalih pembangunan daerah Papua.
maka rakyat selalu mengatakan, LAWAN…LAWAN…LAWAN negara kolonial Indonesia. Kata demikian muncul karena rakyat merasa 01 1963 adalah cacat dan tidak benar. Indonesia membawa Papua ke dalam pengkuan NKRI secara paksa dan tanpa kehendak bebas.
Dengan demikian, Indonesia kalau mau bangun Papua mesti mendengarkan dan menjawab seluruh kemauan rakyat, termasuk hak-hak dasar kehidupan bangsa Papua ke depan.
PUISI PAPUA

Namaku : UANG
Wajahku biasa saja, fisikku juga lemah, namun aku mampu merombak tatanan
dunia.
Aku juga “bisa” merubah Perilaku, bahkan sifat Manusia’ karena manusia mengidolakan aku.
Banyak orang merubah kepribadiannya, ­­­­mengkhianati teman, menjual tubuh, bahkan meninggalkan keyakinan imannya, demi aku!
Aku tdk mengerti perbedaan orang saleh & bejat, tapi manusia memakai aku menjadi patokan derajat, menentukan kaya miskin & terhormat atau terhina.
Aku bukan iblis, tapi sering orang melakukan kekejian demi aku. Aku juga bukan org ketiga, tapi banyak suami istri pisah gara2 aku.
Anak dan orangtua berselisih gara2 aku.
Sangat jelas juga aku bukan Tuhan, tapi manusia menyembahaku spt Tuhan, bahkan kerap kali hamba2 Tuhan lebih menghormati aku, padahal Tuhan sudah pesan jgn jadi hamba uang.. Seharusnya aku melayani manusia, tapi kenapa malah
manusia mau jadi budakku?
Aku tdk pernah mengorbankan diriku untuk siapa pun, tapi banyak orang rela mati demi aku.
Kalau suatu hari anda dipanggil Tuhan, aku tdk akan bisa menemani anda, apalagi menjadi penebus dosa2 anda, anda harus menghadap sendiri kpd sang Pencipta lalu menerima penghakimanNYA.
Saat itu, Tuhan pasti akan hitung2an dgn anda, APAKAH SELAMA HIDUP ANDA MENGGUNAKAN aku dgn baik, atau sebaliknya MENJADIKAN aku sebagai TUHAN?
Ini informasi terakhirku: Aku TIDAK ADA DI SURGA, Jadi jangan cari aku disana.
Salam sayang,
UANG..
Sobat apa yg anda fikirkan stelah membaca pesan dari “uang” sperti diatas?
sumber: renungan harian setiap hari.

ZINKAN KAMI MEMANDANGMU
Nelangsa hidup diliputi awan hitam,
tawa dan canda bergeser makna,
membelenggu, membungkus keceriaan hidup.
Wahai Kejora,
Sang Bintang Timur,
berkibarlah eksis di atas bumimu,
hiburlah bangsa insanmu.
Izinkanlah kami,
memandang dirimu di atas tiang kokoh,
sebelum menutup mata,
untuk berada dalam timbunan tanah.
Hanya sepenggal kata yang tersimpan,
rapih dan selalu setia,
“kaulah pujaan sepanjang masa.”

ke-AKU-anku
Kucari AKU
Dalam sujud dan heningku
Dalam pengembaran panjang alunan Dzikir
Dlam sunyinya malam,
Dalam segarnya mentari pagi…
Dalam…dalam.. ..dalam keraguanku…
Dalam batas antar 2 pikiran
Dalam kesenangan, kesedihan, kemelaratan,
kelaparan, kegundahan, keceriaan…
Dalam diamku…..
Ku Tahu,
KAU ada dlm setiap apapun,
dalam alunan syukur dan caciku
Semua akan kembali padaNYA..
Puisi Papua
INGIN KU-GAPAI
Ingin aku mengejar awan,
tapi ada dinding di sebelah,
bayang-bayang yang nampak,
semakin aku kejar,
semaki menjauh.
Kesedihan, keraguan, dan kegalauan,
yang selama ini aku hadapi,
semoga menjadi langkah awal,
untuk menggapai awan dikemudian hari.
Kegembiraan dalam meniti hidup,
kematangan dalam mengambil sikap,
menatap masa depan yang cerah,
hidup dalam damai.
Puisi Papua

HATI YANG PASRAH
Mengapa Aku terlalu hanyut dalam kisah rumit ini,
ku merasa letih dengan hidup yang terus memilukan,
jalan manakah yang harus ku lalui…?
Mengapa langkahku tak pernah lagi seindah wangi…?
Bunda alamku, cobalah kau genggam hatiku ini,
sedikit saja,
kau merasakan yang kuderita.
Tuhan,
sedikit pun ku tak pernah meragukan kekuasaanmu,
ku terima segala coba_Mu,
ku syukuri semua siksa_Mu atas batinku.
Tapi, sampai kapan Engkau lepaskan rantai ini Tuhan…?
bukan aku meresah akan jalan_Mu,
aku hanya ingin bebas dari smua ini.
Aku hanya ingin merasakan apa yg Kau brikan kepadanya,
sebuah kisah yg utuh dan penuh dengan damai,
penuh kebenaran dan keadilan.
Tuhan,
Selalu ku meminta belas kasih_Mu,
tapi tak pernah Kau pedulikan.
AKu selalu brusaha untuk melepas jerat ini.
tapi Kau selalu membalikkan,
hingga kisah deritaku masih berlangsung.
Aku menyerah Tuhan,
aku terima semua siksa_Mu ini,
melalui orang lain,
membiarkanku tercekam oleh derita demi derita,
tanpa seorang pun yang mengucap kata KASIH dan SENYUMAN INDAH itu.
Tuhan,
lekaslah Kau bunuh aku,
aku rasa, itu jalan terbaik,
untukku.
Puisi Papua

KAMI YANG TERLUPAKAN
Rajutan kisah menaungi di masa indah kami
didalam waktu yg kini kau bebas, bermain dgn indahnya bumi ini.
Diatas tumpah tangis ratapan,
biasa kami lalui,
berhari-hari,
bertahun-tahun,
seakan tak lenyap, dlm gurau pemusnahan yg kini kau pancarkan.
Menggelegar jeritan,
senapan dan meriam yg merampas masa indah kami.
Kini kau telah menuai hasil jerit,
rintih dan pengorbanan nyawa.
Teruskanlah perjuangan,
hai pembela kemanusiaan, kebenaran dan keadilan,
berteriak dalam sunyinya malam.
Katakanlah dengan keras,
diantara gerimis yg membasahi jejak langkahmu.
semoga terdengar,
dibelahan nusantara dunia.
Puisi Papua

TERKENANG
Di kala hamparan dunia bersorak,
anak manusia merenung,
tunduk dan membungkuk,
mengenang memori lalu.
Terpatri,
Sang revolusioner,
menyebar di ujung tembakan,
meminta pertolongan abadi.
tiada henti,
dunia mengamuk,
arogansi menyebar,
nyawa melayang.
terkenang kisah piluh,
tapi tiada henti,
memeluk erat,
Sang Fajar Timur.
Puisi Papua

Kumpulan Puisi anak ciri Papua

Kumpulan Puisi anak ciri Papua


Kumpulan puisi ini saya ambil dari sejumlah puisi yang pernah saya buat, sebenarnya untuk dokumentasi pribadi, tetapi dorongan beberapa kawan membuat saya berani menampilkan puisi-puisi ini disini, semoga saja bisa menggambarkan keluh kesah pikiran dan jiwa saya melihat berbagai ketidakadilan yang terjadi di Tanah Papua. Juga puisi seorang kawan dekat yang dia sumbangkan khusus buat saya, patut saya catat dan publikasi melalui blog ini, terima kasih buatmu kawan, kau menjadi inspirator dalam meyakini suatu pilihan hidup, dan saya sudah berada dalam pilihan itu. Selamat membaca!

DOA IBU
[Krassnaya Kejora]

Anakku...
Anakku Kau kah itu....
Apakah perjuanganmu melelahkan?
Mari..IBU peluk...
Mari..IBU peluk...

Tapi..
Kapan Kau bebaskan IBU dari tirani anak-anak tiri ini...
IBU lelah...
IBU ketih...
Dipermainkan..diperolok..diperbudak..diperdaya.... .

Tidak..Jangan Kau teteskan Air matamu
Perjuangan mu adalah Alasan IBU untuk hidup 
Perjuangan mu adalah alasan IBU untuk tetap memanggil TUHAN dalam Doa
Tunjukkan pada anak-anak tiri itu....
Bahwa mereka harus menghargai IBU dan Kamu
Tidak ada seorang pun dapat merendahkan Kita

Apakah perjuangan mu melelahkan?
Mari...IBU peluk...
Mari...IBU peluk...

Dalam pelukanku IBU senandungkan doa dan harapan...
TUHAN menyertai perjuangan mu...
Ayo Bangkit Nak...
Ayo Bangkit Nak...
Ikuti matahari....ikuti Matahari...
IBU menunggumu kembali anak ku

Salam IBU .......

Port Numbay, 
8 Juni 2007 [03:54 PM]
----------------------

PESAN
[Diary Papua]

Disini kutulis maksudku
Disini kukatakan pada kawan
Bersiaplah

Tuan boneka mulai menuai nestapa
Krisis ekonomi mulai berpendar
Barangkali aku salah
Tapi mereka katakan benar

Barangkali tuan besar imperialis bosan?
Sampaikan maksudku pada rakyat
Jangan terlena buaian imperialisme

Siap sedia
Bangun dirimu
Jadikan Papua kuat
Sekuat batu karang
Runtuhkan semua musuh rakyat
Dan Kita pasti menang!

Jalan Bebas, 
Mon, 14 May 2007 20:59:07
-------------------------

REVOLUSI PAPUA
[Diary Papua]

Aku bergerak pagi ini
Kudapati kabar
Yahukimo lapar
55 telah kau ambil dariku

Aku bergerak pagi ini
Kudapati berita
Puncak Jaya masih berduka
97 dimakamkan tanpa nisan

Aku bergerak pagi ini
Kudengar cerita kawan
Digul memanggil Libo Oka

Lelah aku dengar Jeritan itu
Lelah kubaca kabar itu
Terpekik tapi tertahan
REVOLUSI!

Aku Bangkit Setiap 100 Tahun
Ketika Rakyat Bergerak!
Aku bangkit bersama Rakyat
Ketika Rakyat Bersatu
Senandungkan Nyanyian Jiwa
"Hai, Tanah-ku Papua!"

Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka)

mulanya OPM didirikan di Manokwari pada Februari 1965, tepatnya di Sanggeng pada rumah keluarga Watofa, pertemuan ini dihadiri oleh seluruh komponen masyarakat di Kota Manokwari seperti kepala suku Arfak, Lodwik Mandacan, Barent Mandacan, Kepala Kepolisian Papua Mr. John Jambuani, Komandan PVK Mr. Permenas Ferry Awom dan beberapa anggota PVK-Polisi Papua dan Angkatan Laut Papoea seperti : Benyamin Anari, Terianus Aronggear, Mr. Marani, Fred Ajoi, Jimmy Wambrau, dan lain-lain. Organ ini didirikan dengan nama Organisasi Pembebasan Papua Merdeka (OPPM) namun hingga saat ini sengaja dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia bahwa itu adalah OPM (Organisasi Papua Merdeka), atau dengan kata lain bahwa itu organ yang baru membentuk suatu perjuangan agar bisa dikatakan sebagai Sepataratis - Makar - Terroris dan lain sejenisnya. Dikatakan demikian karena Pemerintah Republik Indonesia sengaja melepaskan kata Pembebasan sehingga mengandung arti sedemikian rupa.
Organisasi ini didirikan dengan dengan tujuan untuk bergelirya di seluruh daerah kepala burung (Vogel Kop) pulau Papua dengan dibentuknya tuju (7) Batalyon Kasuari dan dibantu oleh beberapa Komandan Peleton. Berikut adalah ketuju komandan Batalyon Kasuari tersebut, yaitu antara lain :
  1. Batalyon Kasuari I dipimpin oleh Ex. PVK Sergean Permenas Ferry Awom, beliau merangkap sebagai Panglima Umum. Dengan daerah Operasi yaitu Manokwari Kota dan Menyambow.
  2. Marthinus Jimmy Wambrau (Komandan Batalyon Kasuari II) dengan daerah Operasi yaitu Pesisir Pantai Utara (Saukorem, Arfu, Numbrani, Sidei, dan Nuni).
  3. Marthen Rumbiak (Komandan Batalyon Kasuari III) dengan daerah Gerilya yaitu Manokwari Timur (Ransiki, Windesi, Oransbari, dan Wasior).
  4. Ex. Komandan Polisi Papua, Yohanes. C. Jambuani (John Caprini Jambuni) sebagai Komandan Batalyon Kasuari IV. Dengan daerah gerilya yaitu Warsnembri, Kebar, Saukorem dan Manokwari Kota).
  5. Silas wompere (Ex. Sergean PVK) sebagai Komandan Batalyon Kasuari V, dengan daerah gerilya di A3 (Ayamaru, Aifat dan Aitinyo). Namun dalam gerilya beliau dibunuh di Ayamaru oleh komandan Peleton (anak buahnya) yaitu Martinus Prawar.
  6. Ex. Polisi Papua, Fred Ajoi (Komandan Batalyon Kasuari VI) dengan daerah Operasi yaitu Kebar, Merdei, Menyambow, dan Manokwari).
  7. Ex. Angkatan Laut Papua, Daniel Wanma sebagai Komandan Batalyon Kasuari VII. Dengan daera Gerilya yaitu Sausapor, Saukorem, Teminabuan, dan Sorong Kota)


Sejarah OPM (Organisasi Papua Merdeka)

OlehDr. George Junus Aditjondro          


 Tanggal 28 Juli 1965 adalah awal dari gerakan-gerakan kemerdekaan Papua Barat yang ditempeli satu label yaitu OPM (Organisasi Papua Merdeka). 
Lahirnya OPM di kota Manokwari pada tanggal itu ditandai dengan penyerangan orang-orang Arfak terhadap barak pasukan Batalyon 751 (Brawijaya) di mana tiga orang anggota kesatuan itu dibunuh. Picu "proklamasi OPM" yang pertama itu adalah penolakan para anggota Batalyon Papua (PVK = Papoea Vrijwilligers Korps ) dari suku Arfak dan Biak untuk didemobilisasi, serta penahanan orang-orang Arfak yang mengeluh ke penguasa setempat karena pengangguran yang tinggi serta kekurangan pangan di kalangan suku itu (Ukur dan Cooley, 1977: 287; Osborne, 1985: 35-36; Sjamsuddin, 1989: 96-97; Whitaker, 1990: 51).

Pada tanggal 14 Desember 1988, sekitar 60 orang berkumpul di stadion Mandala di kota Jayapura, untuk menghadiri upacara pembacaan "proklamasi OPM" serta "pengibaran bendera OPM" yang kesekian kali.

Peristiwa ini agak berbeda dari peristiwa-peristiwa serupa sebelumnya.
Soalnya, untuk pertama kalinya, bukan bendera Papua Barat hasil rancangan seorang Belanda di masa pemerintahan Belanda yang dikibarkan, melainkan sebuah bendera baru rancangan si pembaca proklamasi, Thomas Wanggai, yang dijahit oleh isterinya yang berkebangsaan Jepang, Ny. Teruko Wanggai.

Selain itu, Wanggai tidak menggunakan istilah "Papua Barat", seperti para pencetus proklamasi-proklamasi OPM maupun para pengibar bendera OPM sebelumnya, melainkan memproklamasikan berdirinya negara "Melanesia Barat". Kemudian, Thomas Wanggai sendiri adalah pendukung OPM berpendidikan paling tinggi sampai saat itu. Ia telah menggondol gelar Doktor di bidang Hukum dan Administrasi Publik dari Jepang dan AS, sebelum melamar bekerja di kantor gubernur Irian Jaya di Jayapura.

Dibandingkan dengan gerakan-gerakan nasionalisme Papua sebelumnya, gerakan Tom Wanggai mendapat perhatian yang paling luas dan terbuka dari masyarakat Irian Jaya. Sidang pengadilan negeri di Jayapura yang menghukumnya dengan 20 tahun penjara -- tertinggi dibandingkan dengan vonis-vonis sebelumnya untuk para aktivis OPM -- mendapat perhatian luas.

DENGAN segala pembatasan di atas, tonggak-tonggak sejarah mana yang paling penting untuk disorot? secara kronologis, ada lima tonggak sejarah yang paling penting dalam pertumbuhan kesadaran nasional Papua.

26 Juli 1965
Tonggak sejarah yang pertama adalah pencetusan berdirinya OPM di Manokwari, tanggal 26 Juli 1965. Gerakan itu merembet hampir ke seluruh daerah Kepala Burung, dan berlangsung selama dua tahun. Tokoh pemimpin kharismatis gerakan ini adalah Johan Ariks, yang waktu itu sudah berumur 75 tahun.

Sedangkan tokoh-tokoh pimpinan militernya adalah dua bersaudara Mandatjan, Lodewijk dan Barends, serta dua bersaudara Awom, Ferry dan Perminas. Inti kekuatan tempur gerakan itu adalah para bekas anggota PVK, atau yang dikenal dengan sebutan Batalyon Papua. Ariks dan Mandatjan bersaudara adalah tokoh-tokoh asli dari Pegunungan Arfak di Kabupaten Manokwari, sedangkan kedua bersaudara Awom adalah migran suku Biak yang memang banyak terdapat di Manokwari.(2) Sebelum terjun dalam pemberontakan bersenjata itu, Ariks adalah pemimpin partai politik bernama Persatuan Orang New Guinea (PONG) yang berbasis di Manokwari dan terutama beranggotakan orang-orang Arfak. Tujuan partai ini adalah mencapai kemerdekaan penuh bagi Papua Barat, tanpa sasaran tanggal tertentu (Nusa Bhakti, 1984; Osborne, 1989: 35-36).

1 Juli 1971
Empat tahun sesudah pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung dapat dipadamkan oleh pasukan-pasukan elit RPKAD di bawah komando almarhum Sarwo Edhie Wibowo, "proklamasi OPM" kedua tercetus. Peristiwa itu terjadi pada tanggal 1 Juli 1971 di suatu tempat di Desa Waris, Kabupaten Jayapura, dekat perbatasan Papua Niugini, yang dijuluki (Markas) Victoria, yang kemudian dijuluki dalam kosakata rakyat Irian Jaya, "Mavik".

Pencetusnya juga berasal dari angkatan bersenjata, tapi bukan seorang bekas tentara didikan Belanda, melainkan seorang bekas bintara didikan Indonesia, Seth Jafet Rumkorem. Seperti juga Ferry Awom yang memimpin pemberontakan OPM di daerah Kepala Burung, Rumkorem juga berasal dari suku Biak.

Ironisnya, ia adalah putera dari Lukas Rumkorem, seorang pejuang Merah Putih di Biak, yang di bulan Oktober 1949 menandai berdirinya Partai Indonesia Merdeka (PIM) dengan menanam pohon kasuarina di Kampung Bosnik di Biak Timur (Aditjondro, 1987: 122).

Sebagai putera dari seorang pejuang Merah Putih, Seth Jafet Rumkorem tadinya menyambut kedatangan pemerintah dan tentara Indonesia dengan tangan terbuka. Ia meninggalkan pekerjaannya sebagai penata buku di kantor KLM di Biak, dan masuk TNI/AD yang memungkinkan ia mengikuti latihan kemiliteran di Cimahi, Jawa Barat, sebelum ditempatkan di Irian Jaya dengan pangkat Letnan Satu bidang Intelligence di bawah pasukan Diponegoro.

Namun kekesalannya menyaksikan berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia menjelang Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969, mendorong ia masuk ke hutan bersama-sama para aktivis OPM dari daerah Jayapura sendiri.

Sebelumnya ia sudah membina hubungan dengan kelompok OPM pimpinan Herman Womsiwor, orang sesukunya, di Negeri Belanda. Atas dorongan Womsiwor, ia membacakan teks proklamasi Republik Papua Barat berikut dalam kedudukannya sebagai Presiden Republik Papua Barat dengan memilih pangkat Brigadir Jenderal:(3)

PROKLAMASI

Kepada seluruh rakyat Papua, dari Numbai sampai ke Merauke, dari Sorong sampai ke Balim (Pegunungan Bintang) dan dari Biak sampai ke Pulau Adi.
Dengan pertolongan dan berkat Tuhan, kami memanfaatkan kesempatan ini untuk mengumumkan pada anda sekalian bahwa pada hari ini, 1 Juli 1971, tanah dan rakyat Papua telah diproklamasikan menjadi bebas dan merdeka (de facto dan de jure ).
Semoga Tuhan beserta kita, dan semoga dunia menjadi maklum, bah-wa merupakan kehendak yang sejati dari rakyat Papua untuk bebas dan merdeka di tanah air mereka sendiri dengan ini telah dipenuhi.
Victoria, 1 Juli 1971
Atas nama rakyat dan pemerintah Papua Barat,
SethJafetRumkorem
(Brigadir-Jenderal)
3 Desember 1974

Dalam upacara pembacaan proklamasi itu, Rumkorem didampingi oleh Jakob Prai sebagai Ketua Senat (Dewan Perwakilan Rakyat?), Dorinus Maury sebagai Menteri Kesehatan, Philemon Tablamilena Jarisetou Jufuway sebagai Kepala Staf Tentara Pembebasan Nasional (TEPENAL), dan Louis Wajoi sebagai Komandan (Panglima?) TEPENAL Republik Papua Barat.

Imajinasi kartografis wilayah negara merdeka yang dicita-citakan oleh para aktivis OPM, tidak terbatas pada wilayah eks propinsi New Guinea Barat di masa penjajahan Belanda.Tiga tahun sesudah proklamasi di "Markas Victoria", imajinasi itu melebar sampai meliputi wilayah negara tetangga mereka, Papua Niugini. Pada tanggal 3 Desember 1974, enam orang pegawai negeri di kota Serui, ibukota Kabupaten Yapen-Waropen, menandatangani apa yang mereka sebut "Pernyataan Rakyat Yapen-Waropen", yang isinya menghendaki persatuan bangsa Papua dari Samarai (di ujung buntut daratan Papua Niugini) sampai ke Sorong, yang "100% merdeka di luar Republik Indonesia".

Sejak Februari 1975, lima di antara penandatangan petisi ditahan di Jayapura. Soalnya, salah seorang di antara penandatangan "proklamasi Sorong-Samarai" itu, Y. Ch. Merino, orang Biak yang sebelumnya adalah Kepala Kantor Bendahara Negara di Serui, pada tanggal 14 Februari 1975 kedapatan "bunuh diri" di Serui. Kabarnya dalam penggeledahan di rumahnya ditemukan uang kas negara sebanyak Rp 13 juta. Sesudah dua tahun ditahan di Jayapura, lima orang temannya yang masih hidup, di antaranya abang dari seorang alumnus FE-UKSW, diajukan ke pengadilan negeri Jayapura.

Pada tanggal 9 Maret 1977, kelimanya divonis delapan tahun penjara, karena tuduhan melakukan "makar". Ketika saya bekerja di Jayapura di awal 1980-an, saya berkenalan dengan salah seorang pencetus "proklamasi Sorong-Samarai", yang telah selesai menjalankan masa hukumannya, dan sudah diterima bekerja di sebuah perusahaan konsultan transmigran sebagai tenaga penterjemah. Ia tidak mau berceritera tentang gerakan yang pernah dilakukannya (atau yang pernah dituduhkan kepadanya?).

26 April 1984
Pada tanggal ini, pemerintah Indonesia melakukan "sesuatu" yang justru semakin menumbuhkan kesadaran nasional Papua di Irian Jaya, yakni menciptakan seorang martir yang kenangannya (untuk sementara waktu) mempersatukan berbagai kelompok OPM yang saling bertikai. Pada tanggal itulah seorang tokoh budayawan terkemuka asal Irian Jaya, Arnold Clemens Ap, ditembak di pantai Pasir Enam, sebelah timur kota Jayapura, pada saat Ap sedang menunggu perahu bermotor yang konon akan mengungsikannya ke Vanimo, Papua Niugini, ke mana isteri, anak-anak, dan sejumlah teman Arnold Ap telah mengungsi terlebih dahulu tanggal 7 Februari 1984.

Arnold Ap yang lahir di Biak tanggal 1 Juli 1945, menyelesaikan studi Sarjana Muda Geografi dari Universitas Cenderawasih, Abepura (13 Km sebelah selatan kota Jayapura). Di masa kemahasiswaannya, ia turut bersama sejumlah mahasiswa Uncen yang lama dalam demonstrasi-demonstrasi di saat kunjungan utusan PBB, Ortiz Sans, untuk mengevaluasi hasil Pepera 1969.

Sesudah hasil Pepera mendapatkan pengesahan oleh PBB, tampaknya ia menyadari bahwa pendirian suatu negara Papua Barat yang terpisah dari Indonesia terlalu kecil kansnya dalam waktu singkat. Ia kemudian berusaha memperjuangkan agar orang Irian dapat mempertahankan identitas kebudayaan mereka, walaupun tetap berada dalam konteks negara Republik Indonesia.

Selain pertimbangan real-politik , pilihan Arnold Ap untuk memperjuangkan identitas Irian melalui bidang kebudayaan juga dipengaruhi oleh "modal alam" yang dimilikinya. Ia seorang seniman serba bisa yang berbakat. Selain mahir menyanyi, memainkan gitar dan tifa, menarikan berbagai jenis tari rakyat Irian Jaya, melukis sketsa-sketsa, ia juga mahir menceriterakan mop alias guyon-guyon khas Irian. Karena kelebihan-kelebihannya itu, Ketua Lembaga Antropologi Universitas Cenderawasih, Ignasius Soeharno, mengangkat Arnold Ap menjadi Kurator Museum Uncen yang berada di bawah lembaga itu.

Dalam kapasitas itu, ia sering mendapat kesempatan mendampingi antropolog-antropolog asing yang datang melakukan penelitian lapangan di Irian Jaya. Kesempatan itulah yang dimanfaatkannya untuk melakukan inventarisasi terhadap seni patung, seni tari, serta lagu-lagu dari berbagai suku yang dikunjunginya (Ap dan Kapissa, 1981; Ap, 1983a dan 1983b).

`Dalam kedudukan sebagai kepala museum yang diberi nama Sansakerta, Loka Budaya , ia mengajak sejumlah mahasiswa Uncen mendirikan sebuah kelompok seni-budaya yang mereka namakan Mambesak (istilah bahasa Biak untuk burung cenderawasih).(4) Kelompok ini didirikan tanggal 15 Agustus 1978, menjelang acara 17 Agustus, sebagai persiapan untuk mengisi acara hiburan lepas senja di depan Loka Budaya. Selain Arnold, para "cikal-bakal" Mambesak yang lain adalah Marthin Sawaki, Yowel Kafiar, dan Sam Kapisa, yang masih berkuliah di Uncen waktu itu (IrJaDISC, 1983).

Ternyata, respons masyarakat Irian -- baik orang kota maupun orang desa, orang kampus maupun orang kampung -- terhadap karya kelompok Mambesak ini cukup besar. Lima volume kaset Mambesar berisi reproduksi -- dan juga, rearrangement -- lagu-lagu daerah Irian Jaya, berulang kali habis terjual dan diproduksi kembali. Siaran radio Pelangi Budaya dan Pancaran Sastra yang diasuh oleh Arnold Ap dkk di Studio RRI Nusantara V setiap hari Minggu siang, cukup populer. Apalagi karena di selang-seling siarannya, lagu-lagu rekaman Mambesak selalu diputar. Lagu-lagu itu bahkan pernah saya dengar di Pegunungan Bintang dari siaran radio negara tetangga, Papua Niugini, yang sedang dinikmati oleh seorang penduduk asli suku Ok.

Berarti, dengan pelan tapi pasti, suatu gerakan kebangkitan kebudayaan Irian sedang terjadi, dimotori oleh Arnold Ap dari kantornya di Loka Budaya Universitas Cenderawasih. Sebagai kurator museum dan penasehat pusat pelayanan pedesaan yang saya pimpin waktu itu, IrJa-DISC, ia juga sangat akrab berkomunikasi dengan tokoh-tokoh adat serta seniman-seniman alam yang asli Irian. Tampaknya, popularitas Arnold Ap dengan Kelompok Mambesak-nya itu kemudian membangkitkan kecurigaan aparat keamanan Indonesia, bahwa gerakan kebangkitan kebudayaan Irian itu hanyalah suatu "bungkus kultural" bagi "bahaya laten" nasionalisme Papua.

Walhasil, Arnold mulai berurusan dengan aparat keamanan di Jayapura. Tapi karena tak dapat dibuktikan bahwa ia melakukan sesuatu yang "subversif" atau bersifat "makar", ia tak dapat ditahan. Apalagi kaset-kasetnya, atas saran Arnold, diputar di kampung-kampung di perbatasan Irian Jaya - Papua Niugini, untuk mengajak para gerilyawan OPM keluar dari hutan dan pulang ke kampung mereka.

Keadaan itu berubah drastis di penghujung tahun 1983, ketika pasukan elit Kopasandha yang ditugaskan di Irian Jaya, berusaha membongkar seluruh jaringan simpatisan OPM yang mereka curigai ada di kampus dan di instansi-instansi pemerintah di Jayapura, dan menumpasnya once and for all. Arnold dianggap merupakan "kunci" untuk membongkar jaringan "OPM kota" itu. Mengapa Ap? Karena ia juga dicurigai menjadi penghubung antara aktivis OPM di hutan dengan yang ada di kota, yang memungkinkan para peneliti asing bertemu dengan Jantje Hembring, tokoh OPM di hutan Kecamatan Nimboran, Jayapura, dan juga membiayai pelarian seorang dosen Uncen, Fred Hatabu, SH, bersama bekas presiden Republik Papua Barat, Seth Jafet Rumkorem ke PNG, dari hasil penjualan kaset-kaset Mambesak.

Walhasil, pada tanggal 30 November 1983, Arnold ditahan oleh satuan Kopassanda yang berbasis di Jayapura. Sebelum dan sesudahnya, sekitar 20 orang Irian lain, yang umumnya bergerak di lingkungan Uncen maupun Kantor Gubernur Irian Jaya, juga ditahan untuk diselidiki aspirasi politik dan kaitan mereka dengan gerilya OPM di hutan dan di luar negeri. Penahanan tokoh budayawan Irian yang di media cetak Indonesia hanya dilaporkan oleh harian Sinar Harapan dan majalah bulanan Berita Oikoumene , segera mengundang kegelisahan kaum terpelajar asli Irian di Jayapura maupun di Jakarta.

Walaupun penahanannya dipertanyakan oleh Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) maupun teman-teman Arnold yang lain di Jayapura dan di Jawa, sampai awal 1984(5) tak tampak tanda-tanda bahwa ia akan diajukan ke pengadilan. Ia hanya dipindahkan dari tahanan Kopassandha ke tahanan Polda.

Seorang teman Arnold yang juga anggota inti Kelompok Mambesak, Eddy Mofu, malah mendadak juga ikut ditahan bersamanya.

Ketidakjelasan status sang budayawan Irian ini, menambah keresahan kawan-kawannya di Jayapura dan Jakarta. Kegelisahan mereka akhirnya mendorong dua peristiwa pelarian politik ke luar negeri. Di Jayapura, pada tanggal 8 Februari 1984, puluhan teman dan simpatisan Arnold Ap melarikan diri ke Vanimo dengan menggunakan perahu bermotor. Dalam rombongan itu termasuk isteri Arnold, Corry, bersama tiga orang anaknya yang masih kecil serta bayi di dalam kandungannya.

Sementara itu di Jakarta, empat pemuda Irian -- Johannes Rumbiak, Jopie Rumajau, Loth Sarakan, dan Ottis Simopiaref -- yang mempertanyakan nasib Arnold ke DPR-RI, akhirnya terpaksa minta suaka ke Kedutaan Besar Belanda, setelah mereka ketakutan akibat dicari-cari oleh aparat keamanan di tempat penginapan mereka (Kobe Oser, 1984).

Di tengah-tengah gejolak politik beginilah, "tawaran" kepada Arnold dkk untuk melarikan diri dari tahanan Polda guna menyusul keluarga dan kawan-kawan mereka di Vanimo, tampaknya sangat menggiurkan. Celakanya, tawaran itu tampaknya hanyalah suatu jebakan, yang berakhir dengan meninggalnya sang budayawan di RS Aryoko, Jayapura, tanggal 26 April 1984 (Osborne, 1985 dan 1987: 152-153; Anon., 1984 dan 1985; Ruhukail, 1985).

Sekitar lima ratus orang ikut mengantar jenazah sang seniman ke tempat peristirahatannya yang terakhir di pekuburan Kristen Abe Pantai, berdampingan dengan makam sahabat dan saudaranya, Eddy Mofu, yang sudah meninggal pada hari pertama pelarian mereka dari tahanan pada hari Minggu Paskah, 22 April 1984.

Kematian sang seniman ikut melecut arus pengungsi tambahan ke Papua Niugini. Sementara mereka yang sudah lebih dahulu lari ke sana, ikut memperingati kematian teman mereka, sambil menghibur sang janda, Corry Ap.

Kematian budayawan asli Irian ini menambah simbol nasionalisme Papua, karena berbagai fraksi OPM di luar negeri, berlomba-lomba mengklaim Arnold Ap sebagai orang yang diam-diam menjadi "Menteri Pendidikan & Kebudayaan" mereka di dalam kabinet bawah tanah OPM di Irian Jaya. Ada yang juga menyebut sang seniman adalah seorang "konoor modern", merujuk ke para penyebar kabar gembira dalam mitologi mesianistik Biak, Koreri (Osborne, 1987: 149).

Namun selang beberapa tahun, legenda itu mulai pudar. Lebih-lebih karena para penerus Kelompok Mambesak yang masih tetap bernaung di bawah kelepak sayap museum Uncen, tak ada yang mampu (atau berani?) menghidupkan kembali peranan kelompok senibudaya itu menjadi ujung tombak kebangkitan kebudayaan Irian.

Sedangkan di Negeri Belanda, ke mana isteri dan anak-anak Arnold Ap diizinkan mengungsi oleh pemerintah Papua Niugini, kelompok-kelompok OPM mencoba memproyeksikan jandanya, Corry Ap, bagaikan figur Corry Aquino yang juga kehilangan suaminya karena keyakinan politik sang suami, Benigno ("Ninoy") Aquino. Namun Corry Ap bukan Corry Aquino, dan setelah bosan dengan usaha-usaha politisasi dirinya, janda sang seniman menarik diri dari kehidupan publik dan membatasi peranannya (yang sudah cukup berat) sebagai ibu, ayah, dan pencari nafkah, bagi keempat orang anak laki-lakinya di negeri yang tak selalu ramah terhadap para migran berkulit hitam.

14 Desember 1988
Seperti yang telah disinggung di depan, "proklamasi dan pengibaran bendera OPM" yang dilakukan Tom Wanggai di stadion Mandala, Jayapura, sangat berbeda dari pada berbagai proklamasi dan pengibaran bendera OPM sebelumnya. Tampaknya cendekiawan asli Irian asal Serui ini, sudah berpamitan dengan (sebagian besar) bekal historis OPM yang sebelumnya.

Bendera "Melanesia Barat" yang dikibarkannya, berbeda dari bendera "Papua Barat" yang sebelumnya.

Konon menurut ceritera, bendera "Papua Barat" yang sebelumnya, termasuk yang dikibarkan Seth Jafet Rumkorem di Markas Victoria pada tanggal 1 Juli 1971, dirancang oleh seorang bangsa Belanda yang lazim dipanggil "Meneer Blauwwit", mertua tokoh OPM tua di Belanda, Nicholaas Jouwe. Ketiga warnanya -- merah, putih, dan biru -- meniru ketiga warna bendera Belanda.

Sedang ke-13 garis warna putih dan biru, menandakan ke-13 propinsi dalam negara Papua Barat yang akan dibentuk, seandainya Soekarno tidak segera mengintervensi dengan Tri Komando Rakyatnya. Hanya bintang putih di atas landasan merah di bendera Papua Barat itu memberikan unsur "pribumi" pada bendera Papua Barat ciptaan Belanda itu. Itulah bintang kejora, sampari dalam bahasa Biak, yakni lambang kemakmuran yang akan datang dalam mitologi Koreri.

Juga "lagu kebangsaan" OPM berjudul "Hai Tanahku, Papua", yang sering dinyanyikan dalam upacara-upacara OPM, adalah ciptaan seorang Belanda, Pendeta Ishak Samuel Kijne. Nama pendeta seniman itu diabadikan dalam STT GKI Irja di Abepura. Tampaknya, lagu kebangsaan lama itu pun sudah ditinggalkan oleh Tom Wanggai. Sedangkan "wawasan nasional" atau wilayah negara merdeka yang dicita-citakannya juga tidak lagi terbatas pada wilayah Papua Barat yang diancang-ancang oleh Belanda dan diresmikan oleh Rumkorem.

BEGITULAH lima tonggak sejarah dalam evolusi nasionalisme Papua atau Melanesia Barat di Irian Jaya.

Pertanyaannya sekarang: apakah nasionalisme Papua yang sudah tumbuh-kembang selama seperempat abad, yang berhasil diremajakan dari generasi ke generasi, dengan pelebaran variasi profesi dan peningkatan tingkat pendidikan mereka yang tampil memimpin, akan pudar? Ataukah nasionalisme Papua ini akan bertumbuh semakin kuat? Setidak-tidaknya, terus bertahan melalui proses peremajaan aktor-aktornya? Lalu, kalau melihat bukti-bukti historis yang ada, nasionalisme Papua semakin kuat, bagaimana sebaiknya jawaban orang-orang Indonesia (yang lain)? Apakah jawabannya harus selalu lewat peluru, ataukah lewat kotak suara?Solution by bullet , or solution by ballot ? Selain itu, apakah kita harus terus meniru politik pasifikasi Belanda, dengan hanya membalik orientasi geografisnya? Di zaman Belanda, para pejuang kemerdekaan Hindia Belanda yang dianggap "berbahaya" dibuang ke Irian, sementara sekarang, para pejuang kemerdekaan Irian Jaya yang juga dianggap semakin berbahaya, dilihat dari vonis hukumannya yang meningkat dari tujuh ke 20 tahun, dibuang ke Kalisosok dan penjara-penjara lain di Jawa. Sudah betul, bijaksana, dan etiskah reproduksi politik Belanda yang demikian?

KAJIAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA

KAJIAN HUKUMAN MATI DALAM HUKUM PIDANA ADAT DI INDONESIA
Nelvitia Purba, SH, M.Hum1
Abstrak
Sebelum KUHPid di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal diseluruh Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa, Aceh dan lain-lain.
Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya menjadi dasar untuk penyusunan KUHP mendatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Pidana mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi Indonesia yang tidak bisa di lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia.
Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati segera dilaksanakan
Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati
Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar. Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan keris
Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu, pembuangan, denda dan lain-lain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga yang terbunuh. Mungkin dlemaskan didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung.
Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya.
Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling bersalah.
Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang undang hukum jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia.
I Pendahuluan
Tujuan hukum adalah untuk mencapai kedamaian dalam masyarakat pada umumnya. Agar di dalam hidup bersama terwujud suatu ketentraman, maka di ciptakan norma-norma yang juga dikatakan kaedah patokan atau ukuran atau pun pedoman untuk berprilaku atau bersikap dalam hidup. Sedangkan yang dimaksud dalam hukum adalah seluruh ketentuan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis yang mengatur tata tertib dalam masyarakat dan apabila hukum itu di langgar di kenakan sanksi yaitu ancaman hukuman.
A.Z.Abidin menulis, bahwa Hukum Pidana itu merupakan cermin suatu masyarakat yang merefleksi nilai-nilai yang menjadi dasar masyarakat itu. Bila mana nilai-nilai itu berubah, hukum pidana juga berubah.
1 Dosen Yayasan UMN Al Washliyah Medan
Hukum pidana secara tepat di sebut sebagai One of the most faithful mirros of a given civilization, reflecting the pundamental values on which latter erst.
Penjatuhan pidana adalah merupakan suatu nestapa kepada pelanggar yang merupakan obat terakhir (Ultimum Remedium) yang hanya di jalankan jika usaha lain seperti pencegahan sudah tidak bisa berjalan.
Salah satu bentuk sanksi yang paling berat adalah Hukuman Mati
Hukuman mati (death penalty) dalam praktek penghukuman masih mengundang perdebatan.
Jika kriminalitas di Indonesia sudah sedemikian meningkatnya maka menurut penulis Hukuman Mati masih perlu dicantumkan dalam KUH Pidana Mendatang khususnya terhadap kejahatan-kejahatan yang berat yang sangat menyinggung asas-asas kemanusiaan yang adil dan beradab.
Menurut ahli Kriminologi Lombrosso dan Garofalo, hukuman mati adalah alat yang mutlak yang harus ada pada masyarakat untuk melenyapkan pelaku-pelaku kejahatan yang tidak mungkin dapat diperbaiki lagi, dengan adanya hukuman mati maka hilanglah pula kewajiban untuk memelihara mereka dalam penjara yang sedemikian besar biayanya. Begitu pula hilanglah ketakutan-ketakutan para pelaku-pelaku kejahatan tersebut melarikan diri dari penjara dan membikin kejahatan lagi didalam masyarakat.
Sebelum WvS di berlakukan di Indonesia oleh Pemerintah Belanda Pidana Mati telah dikenal diseluruh Indonesia dari Aceh sampai ke Papua. Juga di kenal pada zaman Majapahit, Kerajaan Goa, Aceh dan lain-lain.
Pidana mati yang dikenal oleh adat budaya bangsa sebelum kedatangan penjajah, hendaknya menjadi dasar untuk penyusunan KUHP menadatang, di sesuaikan dengan kebutuhan masyarakat sekarang. Pidana mati yang disorot dari Segi Hukum Pidana Adat merupakan hasil galian dari bumi Indonesia yang tidak bisa di lepaskan dari adat budaya serta agama yang di anut di Indonesia.
II. Hukuman Mati Dalam Hukum Adat
Hukuman mati merupakan bahagian dari hukuman adat, maka harus meninjau secara tentang kedudukan Hukuman Adat dalam Hukum Positif.
Menurut plakat tertanggal 22 April 1808, Mahkamah diperkenankan menjatuhkan hukuman dengan jenisnya iaitu :
1. Dibakar hidup pada suatu tiang
2. Dimatikan dengan menggunakan keris
3. Dicap bakar
4. Dipukul
5. Kerja paksa pada pekerjaan umum.
Oleh Louwes dikatakan bahawa Daendels hanya bermaksud menyesuaikan sistem penghukuman dalam hukum jenayah tertulis dengan sistem penghukuman dalam hukum adat.
Ternyata hukum adat dahulu, mengenal hukuman mati , dengan amalan yang kejam seperti Aceh, seorang istri yang berzinah dibunuh. Ketika Sultan berkuasa disana, dapat dijatuhkan lima macam hukuman yang utama:
1. Tangan dipotong (pencuri)
2. Dibunuh dengan lembing
3. Dipalang dipohon
4. Dipotong daging dari badan penjenayah (sajab)
5. Ditumbuk kepala penjenayah di lesung.
Di Sulawesi Selatan ketika Aru Palaka berkuasa (sekutu VOC yang mengalahkan Sultan Hasanuddin), penjenayah yang menurut pandangan Aru Palaka membahayakan kekuasaannya seperti La Sunni (seorang raja setempat), di pancung kepalanya, kemudian kepala itu diletakkan diatas baki dan di perhadapkan kapada Aru Pelaka sebagai telah dilaksanakan.
Sistem penghukuman tersebut dalam plakat masih berlangsung hingga tahun 1848 dengan keluarnya peraturan hukum jenayah yang terkenal dengan nama Intermaire strafbepalingen LNHB 1848 Nr. 6 pasal 1 dari peraturan ini meneruskan keadaan hukum jenayah yang sudah ada sebelum tahun 1848, terkecuali beberapa perubahan dalam hukum penjara, yang penting antaranya ialah hukuman mati tidak lagi dilaksanakan dengan cara yang ganas seperti menurut plakat 22 April 1808 itu, tetapi dengan hukuman gantung.
Dan setelah Undang-Undang Hukum Jenayah 1915 dikenakan, maka hakim jenayah pada Mahkamah negara tidak dapat memakai hukum jenayah adat dan istiadat sebagai strabaar (dapat dihukum), tetapi strafmaat (ukuran jenayah) boleh kerana ia terikat oleh pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Hukum Jenayah. Akan tetapi, Undang-undang Hukum Jenayah seperti yang kita kenal sekarang ini oleh kerananya sangat dirasa perlu untuk mengadakan kodifikasi yang baru dilapangan hukum jenayah dengan mendasarkan pada hukum adat.
Demi suksesnya usaha pengkodifikasian itu, alangkah baiknya kalau mengemukakan suatu bahagian kecil daripada hukum jenayah adat, iaitu tentang hukuman mati di beberapa daerah.
Di Aceh seorang istri yang melakukan zinah dibunuh. Pada zaman dahulu Sang Sultan berkuasa menjatuhkan lima bentuk hukuman yang istimewa: pencuri dipotong tangannya, dibunuh dengan lembing badan yang dihukum, menumbuk kepala yang penjenayah dalam lesung.
Di Gayo hukuman penjara menggantikan hukuman mati. Kalau seseorang dengan sengaja membakar desa, maka semua langit semua miliknya termasuk istri dan anak-anaknya) dibalas supaya jangan lagi melakukan hal itu. Pencuri, penculik-penculik, pembunuh-pembunuh dan penghianat dimana-mana mereka diketemukan dapat saja ditembak mati, sekalipun dia di pesta. Di sana juga dulu dikenal pembalasan terhadap pembunuh.
Di Batak jika pembunuh tidak dapat membayar wang salah, dan keluarga dari yang terbunuh menyerahkan untuk dihukum mati, maka hukum mati segera dilaksanakan.
Tetapi, kejahatan-kejahatan terhadap negara atau terhadap orang-orang yang memerintah, demikian juga berzinah dengan seorang istri raja, maka tiada dibicarakan denda, atau ganti rugi, tetapi terhadap kejahatan-kejahatan itu hukuman mati diamalkan.
Sistem perkahwinan di Batak adalah eksogami dan hal ini sangat ditaati. Dahulu kala orang yang melanggar perintah ini dihukum mati.
Kalau di Minangkabau menurut pendapat konservatif dari Datuk Ketemanggungan di kenal hukum balas membalas, siapa yang pernah mencurahkan darahnya.
Kalau ”bangun” (pembeli darah) itu tidak dapat dibayar oleh famili atau suku dari si penjenayah itu maka penjenayah itu dapat dibunuh.
Hukuman dilaksanakan di muka umum pada suatu tempat di negeri itu dan seluruh penduduk harus datang melihat. Kepala dibalut seperti haji kemudian di ikat pada tiang, yang harus melaksanakan ialah ”mamak” atau salah seorang keluarga dari yang dibunuh, tapi tak boleh begitu saja terjadi, si pendendam harus menarik ”tandak” dengan keris terhunus di muka penjahat itu dan kadang-kadang memberi tusukan kepada si penjahat itu. Dan kalau jiwa si pendendam sudah panas, maka barulah ia boleh memberikan tikaman yang menentukan pada bagian batang leher sebelah kiri.
Kalau keluarganya tidak melaksanakan hal tersebut, maka ”Dubalang” yang menjalankan tugas tersebut, ini dinamakan talio.
Seperti kejahatan-kejahatan lainnya juga untuk pembunuhan dikenakan sistem solidaritas, ini berarti keluarga dan atau dari yang berulang berkewajiban membayar jika tidak berakibat sipesalah mati.
Peraturan-peraturan hukum berbunyi djoko basmehiduiq djoko tak basme mati artinya jika orang tak punya emas harus mati.
Tetapi, jika kelurga si terbunuh tak menuntut hukuman mati maka hukuman badan diterapkan dengan kata lain si pesalah dijadikan budak atau digadaikan pada keluarga si terbunuh.
Di sini ternyata bahawa banyak sekali hukuman itu mempunyai watak perdata.
Jawa (Tengah, Timur, dan Madura)
Penculik-penculik atau perompak wanita apakah penduduk asli atau asing yang menculik atau menggadaikan pada orang Cirebon, ini dianggap kejahatan yang dapat dihukum mati, kalau penculikan itu terjadi di luar Cirebon, sebab di luar batas-batas Cirebon, bukanlah kejahatan yang dapat dihukum mati tetapi disiksa berat.
Zaman Yaya Prasiyaga yang dapat dihukum mati hanyalah jika dengan sengaja melukai sampai mati.
Undang-undang Djawa Nawolo Pradoto. Di situ dikenal aluning Surjono sebagai kejahatan yang tak terampun. Termasuk kategori kejahatan ini adalah perkahwinan sumbang terhadap kejahatan ini selalu hukuman mati dan bukan denda.
Di Bali perkahwinan sumbang yang dulu dihukum mati sekarang diganti dengan pembuangan 10 tahun.
Perkahwinan sumbang iaitu bersetubuh dengan istri dari pendeta rumah, kakak atau adik perempuan dari pendeta itu istri dari gurunya, saudara perempuan bapaknya, saudara perempuan ibunya, istri pamannya atau dari pihak bapaknya atau pihak ibu baik lebih tua maupun lebih muda dari orang itu, saudara perempuan dari nenek atau dari kakeknya baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu istrinya/menentunya, mertuanya perempuan atau laki-laki anak cucunya dari saudara laki-laki atau perempuan. Hal ini menyebabkan celaka atas marga dari orang yang membuat ini, mereka itu harus dihukum mati dengan dilemaskan di dalam laut, kerana mereka tidak boleh dikuburkan secara mulia.
Umumnya hukuman jenayah amat keras, apakah perkawinan sumbang kejahatan terhadap kaisar dan seterusnya terus dihukum mati. Yang bersalah itu dibunuh dengan keris atau kaki diikat kemudian dibuang ke laut.
Terutama perkawinan sumbang yang sering terdapat di Bali, hukumannya sangat keras. Pernah anak seorang raja dihukum mati dengan cara dilemaskan.
Pada pencurian juga dapat dihukum mati, umpamanya kalau barang curian pusaka dari raja .
Hukuman-hukuman yang kejam telah diganti misalnya hukuman mati dengan jalan dilemaskan, dibakar, ditikam dengan keris.
Biasanya dalam keputusan ditetapkan bagaimana hukuman mati akan dilaksanakan. Dan cara pelaksanaan itu tergantung dari kemauan dewa yang telah dihinakan, kerana dia harus dipuaskan dengan suatu mangsa.
Kalau kejahatan itu dilakukan terhadap Brahma Batara Baruna (Dewa Laut), maka hukuman mati dilaksanakan dengan dilemaskan dilaut, (mararung, mapulang kapasih, labuh batu, , lima bahakem ring telenging samudera).
Dan kalau seorang wanita lupa kastanya kerana kesalahan, maka ia akan dikutuk dari cendana dan dulu dia dikurbankan kepada Brahma dengan kata lain dibakar.
Di kalangan suku dari Tenggara Kalimantan, orang yang bersumpah palsu dihukum mati dengan jalan dilemaskan didalam air.
Di Sulawesi Tengah seorang wanita iaitu seorang bangsawan yang berhubungan dengan seorang pria betua iaitu budak, maka tanpa melihat proses dihukum mati.
Di Sulawesi Selatan pemberontakkan terhadap pemerintah, kalau yang salah tidak mau pergi ke tempat pembuangannya maka ia boleh di bunuh oleh setiap orang.
Untuk semua kejahatan berat yang dilakukan terhadap raja dan adat, harus dihukum mati.
Di daerah Bugis Makassar bentuk-bentuk pelaksanaan hukuman.
Umpamanya hukuman mati, orang yang dihukum mati itu dikuburkan setengah badan hidup-hidup disamping sebuah mesjid, kemudian dilempari batu sampai mati. Hukuman dilakukan kepada orang yang melakukan zina dan cara yang demikian sekarang tak ada lagi di Sulawesi Selatan.
Di Pulau Bonerate pencuru-pencuri dihukum mati dengan jalan tidak diberi makan, pencuri itu diikat kaki tangannya kemudian ditidurkan di matahari hingga mati.
Matthes menceritakan bagaimana kejamnya hukuman mati dijalankan, pada suatu waktu seorang ratu di pedalaman menyuruh menginjak-nginjak dayang-dayangnya sampai mati karena terlalu dekat pada suaminya.
Potong kepala yang selalu terdapat di Tanah Toraja, jarang sekali terjadi pada orang Bugis Makassar. Yang biasa dipakai ialah menusuk dengan tombak, mencekik, dimana yang bersalah kepalanya dibalik kebelakang kemudian ditarik dengan tali dari samping. Tapi yang umumnya ialah membunuh dengan keris.
Hukuman mati yang dilaksanakan dengan melemaskankan didalam air biasanya pada mukah dan perkawinan sumbang. Sekarang pelaksanaan hukuman mati itu sesuai dengan kemauan masing-masing.
Jika budak yang membunuh, ia harus dibunuh tetapi seorang membunuh budak, ia cuma di denda.
Menurut Undang-undang Amanna Gappa:
Kalau seorang merdeka membunuh seorang raja diatas kapal tetapi anak koda yang mengadilinya tidak memberikan putusan hukuman mati (yang seharusnya dijatuhkan) dan hanya manjatuhkan hukuman denda saja, maka anak koda tidak dapat dipidana karena hal itu.
Menurut Matthes ( yang melihatnya sendiri kejadian itu) ini merupakan pengecualian satu-satunya, karena raja sangat berkuasa kalau didarat apalagi di istana.
Didaerah Wajo juga Matthes pernah melihat seorang raja iaitu Aru Padali dari Tempe menjatuhkan hukuman mati terhadap orang yang mencuri sarung Matthes dengan jalan menikamnya dengan keris.
Mungkin hal ini dijalankan oleh Aru Padali, karena pencurian yang dilakukan dimuka seorang raja sangat memalukan raja. Menurut Latoa 11 hal sehingga seorang dapat dijatuhi hukuman mati.
1. Lejja sutappere artinya memasuki kamar tidur seorang wanita sedang suaminya bepergian
2. Gegok paso artinya menggoyangkan tiang negara, ialah membunuh terhadap raja dan pembantu-pembantu adat.
3. Poppo gamaru artinya mengacau rapat adat
4. Suloi liang artinya menerangi gua, ialah menunjukkan tempat persembunyian raja (berkhianat)
5. Mappolo lila artinya mematahkan lidah, ialah dengan sengaja melanggar perintah-perintah raja.
6. Melakukan zina dengan ratu
7. Sapa tanah artinya mengotori tanah, ialah berbuat cabul.
8. Lewu sepe artinya, menutup jalan air, ialah merusakkan pendapatan raja
9. Mapaiboko artinya membelakangi, ialah menyalahgunakan nama raja untuk melakukan kejahatan yang sama sekali bertentangan dengan maksud raja.
10. Pelo weloi arajang artinya mencoba untuk mendapatkan keuntungan sendiri dari penguasa raja.
11. Makkai resaliwengeng arunge enrenge tanah naonroie artinya: makkai menggali, risaliwengeng: diluar, arung: raja, enrenge: dan, tanah naonroie: tanah tempat tinggalnya, ialah bekerjasama dengan musuh di luar negeri terhadap raja didalam negeri.
Pada Raja Bugis Bone, jika orang menjatuhkan seorang raja menyebabkan hukuman mati.
Di Nias hukuman mati dijalankan oleh orang yang tunduk dan bukan oleh orang yang hendak membalas dendam.
Seorang (si pendendam) akan membunuh si pembunuh dimana saja dia bertemu. Hal ini adalah agak aneh dalam hubungan-hubungan politik, tetapi biasa dipakai dalam hubungan/peraturan-peraturan adat.
Pada hal-hal tertentu adat itu juga mengenal hukuman mati tetapi sekarang banyak dipakai pendirian-pendirian yang agak lunak, sehingga dipakai saja penuntutan sipil.
Pada orang Nias sesudah jatuh putusan diberikan tiga hari tempo kepada keluarga terhukum, untuk mengumpul wang sebagai harga darah. Jika mereka tidak membayarnya dalam tempo tiga hari itu, maka hukuman mati diamalkan. Dia bukan lagi keluarga yang mengatur tetapi dengan perantaraan campur tangan kekuasaan umum.
Di Kei ternyata bahawa telah terjadi sihir, iaitu kalu peristiwa-peristiwa sudah membuktikan dengan God oordeel bahawa seseorang membunuh diri karena sihir, maka hukuman mati atau pembuangan segera dijalankan dan tidak ada harapan untuk mendapat pengampunan.
Di Timor tiap-tiap kerugian dari kesehatan atau milik orang harus dibayar atau dibalaskan. Balasan itu dapat berupa: hukuman mati, menyakiti, disamping dipenjara sementara waktu, pembuangan, denda dan lain-lain. Cara melaksanakan hukuman mati ditetapkan sendiri oleh keluarga yang terbunuh. Mungkin dlemaskan didalam air, ditombak, diperangi atau dengan pentung.
Hukuman mati juga dijalankan terhadap tukang sihir, demikian juga keluarganya.
Orang sedang kedapatan melakukan zina, dapat dibunuh oleh suaminya. Dan jika kejahatan zina itu baru kemudian diketahui maka yang dikenakan hukuman mati ialah si laki-laki yang dianggap paling bersalah.
Pembunuhan dibalaskan dengan hukuman mati, tetapi dibolehkan bahawa yang bersalah hanya membayar denda yang banyak.
Hal ini di jelaskan oleh Wijngaarden bahawa hukuman mati hanya dapat diganti dengan denda kalau keluarga yang terbunuh menerimanya.
Menurut Ten Kate bahawa hukuman mati sekarang jarang dilaksanakan pada bangsa Timor dari Amarasi, tetapi terhadap tukang sihir tetap dijalankan.
Hukuman mati dijalankan kepada orang yang melakukan pembunuhan, percobaan pembunuhan, pencurian dalam rumah raja dan pelanggaran kesusilaan dalam kraton.
Hukuman mati dilaksanakan dengan jalan menikam dengan keris, dirajam atau dilemaskan didalam air.
Mennes juga menerangkan bahwa hukuman mati amat jarang dijalankan. Yang dihukum mati ialah orang yang sudah melakukan kejahatan dan ia harus dihukum mati, karena orang takut kepadanya.
Di ambon dan Maluku dalam hukum adat hampir semua jenayah dapat dibayar dengan denda. Hanya kejahatan yang amat berat pernah ada yang dihukum mati. Tetapi karena kepala-kepala kurang bebas maka hukuman-hukuman yang sudah diputuskan biasanya tak dapat dilaksanakan.
Di kepulauan Aru orang yang membawa dengan senjata, zinah kalau ia dapat membayar denda ia di hukum mati.
Pembunuh harus di bunuh oleh keluarga terbunuh. Tetapi apabila sanggup membayar ganti rugi berupa piring emas, rantai yang berharga sama dengan piring emas, mutiara sama dengan 50 souverings dan lola atau gigi gading harga sama dengan 3 piring emas, papan putar dari tembaga harga sama dengan souverings dan lola atau gigi gading harga sama dengan 40 atu 50 Souverings dia dapat dibebaskan.
Di kisar ada tiga tingkatan yaitu:
1. Marus adalah bangsawan
2. Orang Bur adalah rakyat
3. Budak
Perikatan antar seorang wanita dari golongan tinggi dan pria golongan rendah dapat dihukum mati, tetapi kalau laki-laki harus kawin dengan wanita bur tak apa-apa.
Di Ternate keputusan hukuman mati dapat diganti dengan denda uang, denda itu separuhnya dibagi antara orang yang hadir disidang.
Hilman Hadikusuma menyebut beberapa jenayah adat di Lampung yang dapat dijatuhi hukuman mati. Jenayah-jenayah tersebut sebagai berikut:
1. Jika kerabat si terbunuh mendakwa, maka terlebih dahulu diperiksa pangkat kedudukan siterbunuh dan si pembunuh untuk dapat menghitung tepung bangunnya (hukuman terhadap pembunuh). Jika pembunuh ternyata tidak dapat memenuhi tepung bangun si terbunuh, maka pembunuh harus di bunuh sampai mati. Tetapi hukuman tersebut dapat dibatalkan jika ada para pihak yang berkeberatan karena sayang pada pembunuh, apabila demikian maka pelaku pembunuhan itu diserahkan kepada kerabat si terbunuh untuk penyelesaiannya dengan maksud tercapai perdamaian diantara kerabat dua pihak dengan saling memaafkan dunia dan akhirat (pasal 69 KRN).
2. Jenayah, perbuatan zina yang dilakukan antara bapak atau ibu dengan anaknya atau antara mertua dengan manantu atau sebaliknya. Hukuman selain pepadun tengkurap, dibunuh atau dibuang (pasal 94 KRN).
3. Berzina dengan istri orang lain, jika perbuatan itu terjadi kerana si wanita tidak mau tetapi kerana dipaksa, maka semua denda dibayar oleh si pria. Dan jika si pria tidak mau membayar dendanya, maka ia harus dibunuh sampai mati (pasal 100 KRN).
Menurut Hilman Hadikusuma jenayah-jenayah dimana sipelaku jenayah tersebut dapat dibunuh tanpa melalui proses dan orang yang membunuh si pelaku tersebut tidak dapat dihukum. Jenayah-jenayah tersebut adalah:
1. Jika pembunuhan dilakukan terhadap orang yang rompak di dalam pekarangan rumah atau di dalam pekarangan rumah atau masih dalam jarak tiga depan dari sisi rumah, maka si pembunuh tidak dapat dihukum (Pasal 170 KRN)
2. Jika seseoramg membunuh penjahat yang sedang berada dalam rumah, maka tiada dikenakan (Pasal 40 Bab V h. 30 Simbur Tjahaja).
3. Jika seseorang lelaki masuk kedalam rumah orang lain, dengan maksud yang nyata hendak berbuat jahat dengan istri atau anak gadis yang empunya rumah (kerap gawe namanya), dan tertangkap dalam rumah itu lalu dibunuh, maka tiada dijadikan perkara
Dalam perundang-undangan Majapahit pun hukuman mati telah dikenal. Selamat Mulyana menulis bahawa dalam perundang-undangan Majapahit tidak dikenal hukuman penjara dan kurungan.
A. Hukuman Pokok
1. Hukuman mati
2. Hukumanpotong anggota badan yang bersalah
3. Hukuman denda
4. Ganti kerugian atau panglicawa atau patukucawa
B. Hukuman Tambahan
1. Tebusan
2. Penyitaan
3. Patibajampi (pembeli obat)
Yang dijatuhi hukuman mati ialah: pembunuhan, menghalangi terbunuhnya orang yang bersalah kepada raja, perbuatan-perbutan perusuh, yaitu pencurian, membegal, menculik, berkahwin wanita larangan, meracuni dan menenung.
Ditinjau dari hukum adat Aceh sampai Irian ini menunjukkan kepada kita bahawa hukuman mati dikenal oleh semua suku. Dari sana juga dapat ditarik suatu kesimpulan bahawa jauh sebelum penjajah datang ke Indonesia, hukuman mati telah ada di Indonesia. Bukanlah Belanda dengan W.v.S. (Undang undang hukum jenayah) yang mulai memperkenalkan hukuman mati itu kepada bangsa Indonesia.
Daftar Pustaka
Adam Chazawi, 2001, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I Stelsel Pidana, Tindak Pidana, Teori-teori Pemidanaan dan Batas Berlakunya Hukum Pidana, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Andi Hamzah, 1993, Pelaksanaan Peradilan Pidana Berdasarkan Teori dan Praktek, Rineka Cipta, Jakarta.
Andi Hamzah, 1987, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia dari Retribusi ke Reformasi, Pradya Paramita, Jakarta.
Andi Hamzah, 1985, Pidana Mati Di Masa Lalu, Kini dan Masa Depan, Ghalia, Indonesia.
Adhi, (2007), Hukuman Mati di Tengah Perdebatan, http:// pitoyoadhi.wordpress.com/
2007/01/03/hukuman-mati-pro-atau-kontra/. Diakses pada tanggal, 9 Juli 2009.
Bambang Sunggono, (1998), Metodologi Penelitin Hukum, Jakarta, PT Raja Grafindo Persada,
Bambang Waluyo, (1996) Penelitian Hukum Dalam Praktek, Jakarta Sinar Grafika,
Gayus Lumbuun, (2008), Hentikan Pidana Mati. http://www2.kompas.com/kompas cetak/0302/28/OPINI/152606.htm. Diakses pada tanggal, 7 Juli 2009
Joko Prakoso, 1987, Masalah Pidana Mati (soal tanya jawab), Bina Aksara, Jakarta.
Joko Prakoso, 1984, Masalah Pemberian Pidana Dalam Teori Dan Praktek Peradilan, Bina Aksara, Jakarta.
Koeswadji Hadiati Hermien, 1995, Perkembangan Macam-Macam Pidana Dalam Rangka Pembangunan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Lamintangm 1984, Hukum Penentensir Indonesia, Armico, Bandung.
Lili Rasjidi, (1999), Hukuman Mati dalam Tinjauan Filsafat, Cetakan Pertama, Bandung,
Masyhur Effendi, 1994, Dimensi Dinamika HAM Dalam Hukum Nasional dan Internasional, Ghalia, Indonesia.
Mangasa Sidabutar, 1995, Hak Terdakwa Terpidana Penuntut Umum Menempuh Upaya Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Nurwahchi, 1994, Pidana Mati dala Hukum Pidana Islam, Al-Ikhlas, Surabaya.
Nurwahchi, 1985, Studi Tentang Pendapat-pendapat Mengenai Efektivitas Pidana Mati di Indonesia, Ghalia, Indonesia.
Moleong, 1989, Metodologi Penelitian Kualitatif, Remaja Karya, Bandung.
Pensra, Dalam tesis berjudul, Pidana Mati Ditinjau Dari Sudut Pandang HAM,
Posman Hutapea, (2001), Mempersoalkan Pelaksanaan Hukuman Mati, Edisi Kedua, Bandung,
Paskalis Pieter, (2007), Hukuman Mati dan Hak Asasi Manusia, Cetakan I, Jakarta, PT. Grafindo Persada
Rahmad A. Ghani, (2007), Makna Yuridis Pelaksanaan Hukuman Mati, Semarang, UNDIP
Ronny Hanitijo, (1982) Metodologi Penelitian Hukum, Jakarta, Ghalia Indonesia,
Roger Hood, The Death Penalty; A Worldwide perspective (Oxford University Press,(2002). www.amnesty.org
Sholehuddin, 2003, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana, Ide Dasar Double Track Sistem dan Implementasiny, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
SR. Sianturi, 2002, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan Penerapannya, Storia Grafika, Jakarta.
Tibor R. Machan dengan penerjemah Masri Maris, (2006), Kebebasan dan Kebudayaan,Jakarta Yayasan Obor Indonesia
Waluyo Bambang, 2000, Pidana dan Pemidanaan, Sinar Grafika, Jakarta.
Yahya AZ, 2007, Problematika Penerapan Pidana Mati dalam Kaitannya dengan Hak Asasi Manusia (HAM), PUSHAM UII, Yogyakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen.
Undang-Undang No. 1 Tahun 1946 Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Undang-Undang No. 5 Tahun 1997 Tentak Tindak Pidana Psikotropika.
Undang-Undang No. 22 Tahun 1997 Tentang Tindak Pidana Narkotika.
Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Rancangan Undang-Undang Tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Tahun 2002, Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Departemen Kehakiman HAM RI.
Putusan Mahkamah Konstusi terhadap Yudicial Review Undang-Undang No. 22 Tentang Narkotika terhadap Undang-Undang Dasar 1945.